Kamis, 29 Mei 2008

Waras

Pernahkah engkau bersedih? Mengapa? Lalu apa yang kamu lakukan? Hampir semua orang pernah bersedih, entah kapan atau apa sebahnya. Bisa jadi suatu saat anda menginginkan membeli mobil yang sangat anda angankan tetapi tidak memiliki uang sejumlah tertentu. Bisa pula anda merasakan sesuatu yang buruk, sulit dan mengganggu pikiran, lalu andapun bersedih. Jadi dalam kondisi bersedih pikiran anda merasa tidak nyaman, tidak enjoy merasa tertekan dan gelisah.

Mengapa bersedih? Bisa jadi anda bersedih karena pada saat menyaksikan semua hal-hal buruk tetapi tidak bisa melakukan sesuatu. Bisa pula anda sedih amat sangat tetapi pikiran anda belum menjangkau kedalaman masalah supaya bisa membantunya. Coba bayangkan anda melihat seorang ibu berjualan mainan anak yang dibuat dari bekas-bekas minuman kaleng di pinggir jalan. Duduk menunggu pembeli dengan sabar dari pagi hari hingga petang, sementara disampingnya ada seorang anak balita dengan pakaian camping tertidur dengan beralaskan koran. Seharian menunggui dagangan tidak ada seorangpun yang menghampiri, tidak seorangpun tertarik mainan dagangannya. Semua orang yang lalu-lalang berlalu begitu saja.

Kalau anda melintas perempatan traffic light sering kita menjumpai seorang ibu menggendong bayi, mungkin berumur 1 tahun atau kurang sambil mengulurkan tangan di samping jendela mobil satu ke mobil berikutnya. Bayi yang digendonpun dengan pakaian camping tertidur dengan nyenyak berselimut terik sinar matahari.

Adakah beda dari dua ibu ini? Yang jelas kedua ibu ini sama-sama berusaha semampunya untuk mendapatkan uang atau bentuk imbalan lainnya. Persepsi kita mungkin juga sama, yaitu keduanya akan menggunakan uang yang diperolehnya untuk menghidupi bayi yang tertidur nyenyak ini. Yang membedakan keduanya adalah tangannnya. Ibu penjual mainan meletakkan tangannya sejajar dengan tangan-tangan lainnya. Sementara itu si ibu peminta-minta memposisikan harga dirinya lebih rendah dari bahu lainnya. Si peminta juga membawa suasana buram bagi setiap pelintas lampu merah, karena pelintas merasa tidak nyaman dan tergangu dengan pmamdangan buruk ini. Apakah ibu penjual mainan menampilkan wajah indah? Ya, kalau anda tidak merasakan pemandangan nyaman boleh saja karena pola persepsi kita berbeda.

Minggu lalu aku menyaksikan sebuah tayangan dialog khusus di JTV-Surabaya yang menghadirkan seorang petani atau lebih tepat disebut buruh tani yang sangat bersahaja. Namanya Pak Waras dengan didampingi istri tercinta. Ceritanya Pak Waras adalah salah seorang pemilik tanah di Desar Siring yang tenggelam karena bencana Lumpur Lapindo Sidoarjo. Seteleh terketung katung lebih dari setahun akhirnya proses ganti rugi tanah diberikan yaitu dengan pembayaran 20% dari harga tanah dan rumah yang tenggelan oleh lumpur. Pak Waras adalah salah satu pemilik tanah yang menerima pembayaran 20 %. Pada saat dia datang ke bank untuk mengambil uang pembayarnnnya, betapa terkejutnya dia. Uang yang masuk di rekeningnya mencapai Rp 429 juta,jauh lebih besar dari haknya yang seharusnya dia terima yaitu sebesar 56 juta.
Melihat kondisi ini Pak Waras langsung berdiskusi dengan keluarga. Dari hasil diskusi memutuskan bahwa uang ini akan dikembalikan melalui pendampinglapangan. Setelah melalui proses cukup panjang akhirnya uang tersebut bisa dikembalikan.

Cerita ini nyata di negeri Indonesia tercinta yang masih dipimpin oleh pejabat yang rakus dan korup. Para pejabat menghamburkan uang rakyat dengen label kunjungan bisnis, studi banding atau dengan nama apapun. Bukan hanya itu beberapa pejabat lain yang seharusnya mengaymi rakyat karena memegang jabatan publik menjadi koruptor dengan nilai miliaran rupiah, bahkan mencapai triliunan rupiah.

Dua kutub cerita kontroversi, coba kita simak apa jawaban Beliau ketika ditanya presenter, ” apa yang dipikirkan Pak Waras Pada saat itu dan megapa Bapak mengembalikannya?”. Ini jawabannnya ” Saya takut dosa”. Subhanallah..., ternyata masih ada Pak Waras yang benar-benar waras sehat jasmani rohani. Jawaban ini sederhana sekali, karena diucapkan oleh Pak Waras yang sangat lugu, tetapi sesungguhnya ucapan ini menohok kita bangsa Indonesia yang sudah lupa dengan dosa. Mengucapkan takut dosa sudah sering kita dengan, tetapi wujud nyata ini kita temukan pada Pak Waras, bukan dari pejabat dan profesi lain. Lapindo yang merasa beruntung sekali dengan perbuatan Pak waras memberikan sebuah rumah ukuran 36 lengkap dengan perabotnya. Juga tawaran menginap di hotel mewah. Tawaran terakhir ini ditolak, ayo apa alasannnya?, ” Mboten Pak , mangke kulo mboten emut kale wedhus kulo” Pak Waras lagi-lagi menunjukkan kasih sayangnya kepada manusia dan makhluk Tuhan lainnya yaitu kambing piaraannya.

Beda sekali dengan pajabat negeri kita, jangankan ingat dengan makhluk Tuhan selain manusia, bahkan sesama teman, saudara dihabisi, difitnah, dijebak dan saling syu’udhon Mari mengambil pelajaran dari Pak Waras. Supaya ahklak kita lebih waras.
Jaiman
Surabaya, 8 September 2007

Tidak ada komentar: